03. Merendah Itu Indah
Di satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk
memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah
teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga
maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan
orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci. Di
neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi
lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh
lebih dipenuhi hiburan dibandingkan surga.
Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk
tinggal di neraka saja. Esok harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka.
Ada orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya.
Maka proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang
petugas terakhir menjawab: 'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu".
Dengan jengkel turis tadi bergumam: 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya,
Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya
lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan (trust) telah menjadi
komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini. Dan
sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu
mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan
tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak
ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu
mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang
demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang
mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi krisis
perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal :
trust capital.
Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus
ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan tidak percaya pada Bambang.
Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah
lingkaranketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan
seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah
diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila saja. Kita semua sedang
memproduksi diri seperti itu.
Andaikan di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh
ternyata di depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya :
tetangga depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimanakah reaksi
Anda? Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan
jawabannyapun amat beragam.
.........9
Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya
', menempatkan tahi sapi tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin
peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang melengkapi
diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya dari
segi baiknya' menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan
rumah. Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai kotoran
yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif
dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian
persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa
lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan
berkuasa dalam pikiran kita.
Cerita tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi lain,
setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan
pikiran sayapun tidak seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul
di luar kesadaran.
Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor
yang stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki,
stang-nya hanya akan melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama
bekerja di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat
wajah pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut
sebagai pengkondisian yang mematikan.
Peperangan melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang paling
menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda,
namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya
untuk merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air
sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani
merendah.
Demikian juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya
telah mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan
ukurannya, saya memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya,
Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya
peroleh, lebih banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak- injak orang.
Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan
kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang
pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site saya mengutip Rabin
Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***