06. Kekayaan Manusia Yang Terbesar
SEORANG sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor,
pulang malam dalam kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di
kulit, kemudian bertanya: untuk apa hidup ini? Ada juga orang tua yang sudah benarbenar
lelah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang tua, dewasa mengungsi ke
lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya serupa.
Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam. Ada
yang mencari kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan
kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai
mengorbankan hampir segala-galanya. Dan tentu saja sudah menjadi hak masingmasing
orang untuk memilih jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau
berlari memburu kekayaan (luar maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai,
pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak
sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian
bahkan mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti.
Terutama dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan
kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan
soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia
memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang orang
bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan: contentment is the greatest
wealth.
Tentu agak unik kedengarannya. Terutama di zaman yang serba penuh dengan
hiruk pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar,
tentu bisa dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai
antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Cuma, bagi
setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur
"cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang
terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja.
Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui
hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan
lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan
rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk
dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun
rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan
kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga
serta teman. Dengan semua perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika
rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian manusia menemukan
banyak kawan, di hutan yang paling sepi sekalipun ia menemukan banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih
sekadar memaksa diri agar damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan.
.........15
Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, manusia seperti terlempar
dengan nyaman ke sarang laba-laba kehidupan.
Di mana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari,
dll) serba terhubung, sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah titik
pusat. Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencarian
kekayaan ke luar yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia
terguncang menakutkan di pinggir roda. Namun di titik pusat, tidak ada putaran.
Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi
yang belum pernah mencoba, apa lagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati,
hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan.
Hanya keberanian untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan
orang-orang yang mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta
rasa cukup di lain sisi.
Bila orang-orang seperti ini berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang
suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun pintar
mengagumkan di dalam.
Biasa tampak luarnya, namun luar biasa pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi,
karena rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan
akan penilaian orang lain. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus
bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam
novel indahnya berjudul 'pergi ke mana hati membawamu' ia kurang lebih menulis:
kata-kata ibarat sapu.
Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana.
Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata
lain, pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya
menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain (seperti sapu).
Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih tanpa
menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu
karyanya yang mengagumkan (Shambala, The sacred path of the warrior), ia
menulis: this basic wisdom of Shambala is that in this world, as it is, we can find a good and
meaningful human life that will also serve others. That is our richness. Itulah kekayaan yang
mengagumkan, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang
seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan
bermakna buat pihak lain. ***