10. Menanam Bunga Perhatian
Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu Teresa
pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan di panti jompo
ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal di sini, ketika duduk di
ruangan untuk menonton tv, bukannya memandang tv, hampir semua mata menatap
pintu masuk.
Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian.
Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di
kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah
mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu
masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu
persatu.
Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore
orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil
memandangi jalan.
Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak
saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.
Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini,
setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang jelas, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, tua muda, di kota maupun
di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang
amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang,
hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga
tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya.
Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng
ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara
atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang di puncak dengan orang
di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian
bukti yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan
pemimpin yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan
keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang
miskin perhatian juga.
Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau
organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka kapan bisa terbentuk
barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?
Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis : "We must remember that love begins at home, and we
must also remember that the future of humanity passes through The Family".
.........23
Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah.
Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab
masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak
merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali
meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap
hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan
anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu
yang kurang.
Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya
juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya
sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak
ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam
diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang
amat saya cintai ini? Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan
jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan
kuantitas hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi.
Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap
anak mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layanglayang
yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga.
Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.
Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan
Papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta
bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab
semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi
keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian
kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di manamana
di rumah.
Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik
sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing
kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka
naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang
menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan.
Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang
saling memperhatikan? ****