29. Mumpung Masih Diberi Waktu
Setiap mengakhiri sebuah tahun, semua orang dihadang oleh sebuah kenyataan
betapa cepatnya sang waktu berputar dan berlalu. Dan secara tiba-tiba, baru sadar
ketika ada sahabat atau kerabat yang dipanggil kematian. Di situ kita baru merenung,
kita masih diberi sisa waktu.
Mungkin Anda punya kenangan tersendiri dengan tahun 2001, demikian juga saya.
Ada sejumlah catatan dan jejak waktu yang tertulis dalam sejarah saya di tahun 2001.
Ada kejadian diangkat menjadi presiden direktur sebuah perusahaan swasta dengan
dua ribuan karyawan di awal tahun, dan di akhir tahun diangkat lagi oleh sang
kehidupan untuk menjadi presiden direktur sebuah perusahaan dengan empat puluh
ribuan karyawan. Ada juga catatan-catatan yang menyedihkan seperti pernah diteror
orang, didatangi karyawan yang marah sambil mengancam manajernya dibunuh di
depan saya. Dan masih ada lagi catatan lain yang terlalu panjang untuk diceritakan.
Boleh saja ada orang yang berdecak kagum, atau menyimpan kebencian setelah
melihat catatan ini. Namun, bagi saya pribadi ada yang jauh lebih membanggakan
dari diangkatnya saya oleh sang kehidupan dua kali di tahu 2001 di posisi tertinggi.
Setelah mencoba beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya, baru di tahun 2001 saya
berhasil menemani sahabat-sahabat muslim berpuasa sebulan penuh. Inilah prestasi
yang paling saya banggakan di tahun 2001.
Mirip dengan kejadian sebelumnya, di mana sejumlah sahabat mengira saya
seorang kristiani ketika banyak menulis soal cinta dan kasih sayang, ada juga yang
mengira saya seorang buddis ketika mereka tahu kalau saya seorang vegetarian,
demikian juga dengan kegiatan berpuasa sebulan tadi. Bawahan di kantor yang
biasa melayani saya membelikan makan siang, ada yang berbisik kalau saya sudah
menjadi seorang muslim. Tentu saja semuanya hanya saya jawab dengan senyuman.
Dan ada yang lebih penting dari sekadar memasukkan kegiatan-kegiatan
membanggakan ini ke dalam kotak dan judul tertentu. Yakni, bagaimana sang waktu
diisi.
Kadang ada anggota keluarga – terutama isteri – yang kasihan melihat saya
menempuh jalan-jalan kehidupan seperti ini. Dulu, ketika berada pada kehidupan
yang amat di bawah dan amat jarang bisa membeli daging, bermimpi bisa makan
daging setiap hari. Sekarang, ketika membeli daging bukan lagi menjadi sebuah
kegiatan yang teramat sulit untuk dilakukan, tiba-tiba saya memutuskan hubungan
dengan kegiatan makan daging. Dulu, ketika makan adalah sebuah kemewahan dan
hiburan yang amat menyenangkan. Sekarang ketika membeli makanan adalah
sebuah perkara kecil, malah berpuasa dalam waktu sebulan. Demikianlah kira-kira
isteri saya kadang mengeluh di rumah. Dan semua keluhan ini hanya saya jawab
dengan senyuman sederhana plus kalimat sederhana: mumpung masih diberi waktu.
Serupa dengan lagu indah Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Masih ada waktu’, hidup
memang sebuah perjalanan abadi. Hanya karena kehendakNya, kita masih bisa
melihat matahari. Ebiet memberikan kita sebuah alternatif yang layak untuk
direnungkan: bersujud. Satu spirit dengan saran bersujud ala Ebiet, Kahlil Gibran
dalam The Prophet pernah menulis: ‘your daily life is your temple and your religion’.
Kehidupan sehari-hari Anda adalah tempat sembahyang sekaligus ‘agama’ Anda.
Sulit membayangkan, bagaimana seseorang yang menyebut dirinya beragama tetapi
setiap hari pekerjaannya hanya menyakiti hati orang lain. Susah dimengerti, kalau
ada orang yang datang ke tempat ibadah demikian rajinnya, atau menyumbangkan
.........62
dana besar untuk pembuatan tempat ibadah, tetapi hampir setiap hari mencuri uang
orang lain.
Dalam bingkai-bingkai Ebiet dan Gibran, mungkin lebih menyentuh hati orang-orang
biasa yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah menyebutkan agamanya, tetapi
mengisi waktu-waktunya dengan cinta dan kasih sayang. Atau orang-orang yang
namanya tidak pernah menghiasi media, tidak dikenal siapapun, namun mengisi
hari-harinya dengan senyuman buat kehidupan. Atau orang yang tidak pernah
menduduki satu kursi jabatanpun, tidak menyandang gelar apapun, namun
menunjukkan keteladanan-keteladanan kehidupan yang mengagumkan.
Terinspirasi dari pemikiran-pemikiran orang seperti Ebiet dan Gibran inilah, saya
merelakan diri hidup dalam jalur-jalur yang oleh kebanyakan orang disebut
menyengsarakan. Tidak untuk gagah-gagahan, tidak juga karena haus akan pujian,
akan tetapi melalui solidaritas, disiplin diri, kesederhanaan saya sedang mengukir
sang hidup dengan catatan-catatan waktu. Dan ketika suatu waktu putera puteri saya,
atau orang lain membuka serta membacanya, mereka akan tahu, pernah ada
seorang ayah atau seorang penulis yang hidup dengan tingkat solidaritas dan disiplin
diri tenrtentu. Kemudian, membuahkan kehidupan yang hanya mengenal bersujud di
depan Tuhan.
Sebagai orang yang bergaul ke mana-mana, kerap saya diberikan banyak kartu
nama oleh banyak orang, lengkap dengan jabatan mentereng di bawah nama yang
bersangkutan. Ini membuat saya berimajinasi, kalau suatu saat saya bisa memiliki
sebuah kartu nama, di mana di bawah nama saya ada jabatan yang bisa mewakili
kesukaan saya untuk bersujud di depan Tuhan. Mimpi ini muncul di kepala karena
teringat oleh salah satu tulisan Gibran dalam The Prophet: "beauty is life when life unveils
her holy face" (kecantikan adalah kehidupan yang wajah sucinya terungkap). Dan saya
berterimakasih bisa mengetahuinya ketika Tuhan masih memberi cukup waktu