31. Bubar Karena Besar
Dulu, ketika saya masih duduk sebagai mahasiswa di fakultas ekonomi, dan sempat
dibombardir oleh ide-ide besar ala banyak ekonom seperti Keynes dan manusia
sejenis, tiba-tiba merasa diinteruspi pikirannya oleh E.F Schumacher melalui
karyanya yang berjudul "Kecil Itu Indah". Anda bayangkan, pikiran yang biasa diajak
untuk mempermainkan variable-variabel yang ditujukan untuk memperbaiki hal-hal
besar, tiba-tiba dibelokkan secara mendadak untuk mencermati sekumpulan hal
yang relatif "kecil".
Entah apa ukuran dan kriteria Anda dalam menilai keberhasilan perekonomian, kalau
ukurannya pertumbuhan, dan ini yang dikotbahkan banyak ekonom, tentu saja ideide
ala Schumacher tidak layak untuk dilirik dan diperhatikan. Namun, bila kita mau
belajar dari runtuhnya sejumlah perekonomian yang tidak berakar dalam pada
karakteristik dasar masyarakat setempat, cerita jadi lain lagi. Dan harus diakui,
dalam wacana manapun, selalu ada perimbangan dari setiap prokontra. Demikian
juga wacana tentang basis utama perekonomian suatu masyarakat.
Tanpa berniat mau memperpanjang prokontra yang belum berakhir di atas, kita di
Indonesia dihadapkan pada serangkaian kenyataan yang mudah mengundang
paradoks. Ketika krisis total terjadi, mereka yang berdiri di depan dalam barisan
orang-orang yang mengeruk uang negara melalui bantuan likuiditas Bank Indonesia,
hampir semuanya termasuk dalam pengusaha dan perusahaan besar yang sengaja
dibesarkan penguasa rezim orde baru. Sampai ketika tulisan ini dibuatpun, barisan
perusahaan dan pengusaha tadi sebagian dalam proses penanganan oleh aparat.
Dan kalau kontribusi manusia-manusia bermasalah ini dihitung perannya terhadap
perekonomia ketika orde baru masih berkibar, tentu saja porsinya masuk dalam
klasifikasi besar.
Sebaliknya, ketika indikator-indikator perekonomian menunjukkan angka-angka
menyedihkan, Indonesia dihadapkan pada sekumpulan penyelamat perekonomian
yang dulunya tidak pernah diperhitungkan dan disentuh kebijakan-kebijakan besar:
usaha kecil dan menengah. Demikian juga dengan dunia perbankan. Bank-bank
besar nan menjulang memang diinjeksi uang dalam jumlah yang tidak bisa
diperkirakan oleh pemain kecil menengah. Kalau dukungan pemerintah memang
merupakan satu-satunya tenaga kemajuan, mungkin Indonesia adalah salah satu
negara yang mbalelo dalam hal ini. Bagaimana tidak menyimpang dan melanggar
kaidah, kalau pihak-pihak yang dijejali dana dan dukungan terbukti menjadi beban.
Sedangkan mereka yang jauh dari hiruk pikuk lobi-lobi agar dibantu pemerintah,
justru tampil sebagai penyelamat ketika negara dan bangsa ini terpuruk. Tidak
pernah bisa dibayangkan, bagaimana nasib Indonesia ketika krisis paling dalam
terjadi, kalau ia tidak diselamatkan pemain-pemain kecil menengah.
Data-data mikro saya sebagai konsultan manajemen menunjukkan, justru industriindustri
dengan perputaran uang kurang dari lima ratus milliard setahun, tampil ke
depan sebagai penyelamat perekonomian dan pengagguran. Perusahaan penjualan
langsung Tupperware pertumbuhannya mencapai puncaknya ketika tahun 1998
(tahun paling mengerikan dalam rangkaian krisis ekonomi Indonesia). Sekaligus
menampung limpahan penganggur dari banyak industri yang ketika itu lagi sekarat.
Demikian juga bank, mereka yang bisa masuk kategori "A" di tahun-tahun
mengagetkan tadi hampir semuanya datang dari pemain-pemain yang dari besarnya
asset hanya mengundang lirikan sebelah mata. Belum lagi industri-industri kecil ala
kafe tenda yang di kota besar seperti Jakarta tadinya menjamur di mana-mana. Ia
.........66
tidak saja tampil sebagai penyelamat perut dari kelaparan, tetapi juga sebagi safety
valve masyarakat yang dari banyak segi bisa disebut genting ketika itu.
Derajat representasi dari data-data mikro memang layak dipertanyakan. Yang jelas,
kecenderungan mbalelo ini tidak saja menjadi monopoli Indonesia, sahabat saya di
Italia Utara sana juga bertutur hal serupa. Di mana industri-industri kecil menengah
yang jauh dari jangkauan dan sentuhan kebijakan-kebijakan "besar" pemerintahlah
yang menjadi tumpuan masa depan yang meyakinkan.
Bercermin dari sini, mungkin sudah saatnya untuk memikirkan kembali keangkuhan
dan arogansi variable-variabel "besar" dalam perekonomian. Apa lagi, keangkuhan
dan arogansi terakhir diikuti oleh kesombongan pemerintah, bahwa dialah satusatunya
produsen masa depan. Banyak krisis sudah bertutur, bangsa dengan
rakyatnya bukanlah bebek-bebek yang dengan mudah bisa digerakkan variablevariabel
"besar" ketika berjalan ke depan. Meletakkan rakyat hanya sebagai obyek
variable-variabel besar, sudah banyak terbukti, hanya memproduksi perusahaan dan
pengusaha yang memperpanjang ketergantungannya pada penguasa ketika gerbang
krisis terbuka. Bila dalam perusahaan dan pengusaha menengah kecil yang kebal
bantingan perekonomian, berlaku kaidah "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian". Atau, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Krisis ekonomi
Indonesia mengajarkan, arogansi variabel besar yang demikian asiknya dimainkan
oleh rezim orde baru, memproduksi kaidah berusaha yang lain lagi: berakit-rakit ke
hulu, berenang-renang ke Singapore. Artinya, memperoleh kredit dulu, setelah itu
kabur ke Singapore.
Kita patut bersyukur dan berterimakasih kepada mereka yang tidak hanya bertahan,
tetapi tampil sebagai penyelamat. Terutama karena modal berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian. Kita juga patut merenungkan, akankah rezim sekarang
tetap memproduksi pengusaha yang besar dengan kaidah "berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke Singapore" ?